dilema perkuliahan

Sabtu, 13 Maret 2010

BAB I. PENDAHULUAN


1.1. Tinjauan Pustaka

klasifikasi dari cendawan Cendawan Fusarium sp adalah sebagai berikut ;
Kindom : Fungi
Divisi : Eumycota
SubDivisi : Deuteromycotina
Kelas : Hypomycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium oxysporum
Bagian vegetatif jamur pada umumnya berupa benang-benang halus memanjang, bersekat (septa) aatau tidak, disebut hifa. Kumpulan benang-benang hifa disebut miselium. Hifa bercabang-cabang atau tidak, tebalnya 0,5-100 μm. Demikian pula pada seluruh miselium mungkin hanya mempunyai beberpa μm, tetapi dapat pula membentuk lapisan atau benang benang besar yang panjangnya bermeter-meter. Jamur ini didalam tanah dan pada biakan murni membentuk tiga macam spora yaitu : mikrokonidium, makrokonidium, serta klamidiospora. Didalam tanah yang telah terinfeksi jamur bertahan dalam bentuk miselium atau dalam semua bentuk konidiumnya.
Penyebaran jarak pendek melalui air atau alat – alat pertanian yang terkontaminasi, sedangkan penyebaran jarak jauh melalui pemindahan tanaman yang sakit ke tempat lain atau pemindahan tanah yang telah terinfeksi ke tempat lain. Daerah – daerah yang terserang oleh cendawan ini adalah pada pangkal batang dan akar, sedikit dibawah permukaan tanah. Cendawan ini menyerang pertanaman dan penyebarannya sangat luas amper di seluruh dunia. Cendawan ini menghasilkan tiga macam toksin yang menyerang pembuluh xylem yaitu : asam fusaric, asam dehydrofusaric, dan lycomarasmin. Toksin – toksin tersebut akan mengubah permeabilitas membrane plasma dari sel tanaman inang sehingga mengakibatkan tanaman yang terinfeksi lebih cepat kehilangan air daripada tanaman yang sehat. Gejala permulaan dari serangan penyakit ini adalah terjadinya pemucatan daun dan tulang daun, diikuti dengan merunduknya tangkai daun.
Daun layu dan lambat laun berwarna kuning, tangkai daun tersebut bila disentuh akan mudah lepas dan jatuh dari batang utama. Kelayuan terjadi mulai dari daun terbawah dan terus ke daun bagian atas, kelayuan tanaman mungkin hanya terjadi sebagian saja atau dapat juga secara keseluruhan. Keefektifan dari cendawan ini ditentukan oleh banyaknya spora yang diproduksi, karena spora merupakan sumber inokulum yang paling penting dari cendawan . Kapasitas penyebaran dari Fusarium oxysporum merupakan kemampuan mendistribusi dari dalam lingkungan inang. Patogen dapat memiliki virulensi dan daya tahan yang tinggi, tetapi ada kalanya tidak mampu menyebar, tergantung agen biotik. Secara keseluruhan, distribusi Fusarium oxysporum diketahui COSMOPOLITAN. Namun, bentuk-bentuk khusus yang berbeda (f.sp.). F. oxysporum sering memiliki berbagai tingkat distribusi. Fusarium oxysporum dan berbagai formae istimewa telah ditandai sebagai penyebab gejala berikut: vaskular layu, kuning, umbi membusuk, akar membusuk, dan damping-off. Layu vaskular penyebab Fusaria. Karena layu Fusarium yang paling penting adalah penyakit yang disebabkan oleh F. Oxysporum. Secara umum, layu Fusarium pertama kali muncul sebagai urat sedikit membersihkan pada bagian luar daun muda, diikuti oleh epinasty (terkulai ke bawah) dari daun yang lebih tua. Pada tahap pembibitan, tanaman yang terinfeksi oleh F. oxysporum dapat layu dan mati segera setelah gejala muncul.
Pada tanaman yang lebih tua, vena daun epinasty kliring dan sering diikuti oleh stunting, menguning dari daun bawah, pembentukan adventitious akar, layu daun dan batang muda, penggundulan, marjinal daun nekrosis yang tersisa, dan akhirnya kematian seluruh tanaman. Lebih jauh lagi, pada tanaman yang lebih tua, gejala umumnya menjadi lebih jelas selama periode antara buah mekar dan pematangan. Jika sporodochia berlimpah, budaya mungkin tampak krim atau oranye dalam warna. F. oxysporum memproduksi tiga jenis spora aseksual: microconidia, macroconidia, dan chlamydospores [Microconidia] adalah satu atau dua bersel, dan merupakan jenis yang paling melimpah dan spora freqeuntly dihasilkan oleh jamur dalam semua kondisi. Itu juga merupakan jenis yang paling sering spora diproduksi dalam pembuluh tanaman yang terinfeksi. [Macroconidia] tiga sampai lima bersel, secara bertahap menunjuk dan melengkung ke arah ujungnya. Spora ini biasanya ditemukan pada permukaan tanaman dibunuh oleh patogen ini maupun dalam kelompok sporodochialike. [Chlamydospores] bulat, spora berdinding tebal, diproduksi baik pada intercalary mematikan atau miselium lebih tua atau di macroconidia. F. oxysporum adalah berlimpah dan saprophyte aktif dalam tanah dan bahan organik, dengan bentuk tertentu yang patogenik tanaman. Saprophytic kemampuan yang memungkinkannya untuk bertahan hidup di dalam tanah antara siklus tanaman dalam tanaman terinfeksi puing-puing. Jamur dapat bertahan baik sebagai miselium, atau sebagai salah satu dari tiga tipe spora yang berbeda. Tanaman yang sehat dapat terinfeksi oleh F. oxysporum jika tanah di mana mereka tumbuh terkontaminasi dengan jamur. Jamur dapat menyerang tanaman baik dengan kuman sporangial tabung atau miselium dengan menginvasi akar tanaman. Akar bisa terinfeksi secara langsung melalui akar tips, melalui luka pada akar, atau pada titik pembentukan akar lateral. Begitu di dalam tanaman, miselium tumbuh melalui korteks akar intercellulary. Ketika miselium mencapai xilem, itu menyerang pembuluh melalui xilem, Pada titik ini, miselium tetap di kapal, di mana biasanya kemajuan ke atas ke arah dan mahkota batang tanaman. Seperti tumbuh, cabang dan menghasilkan miselium microconidia, yang membawa ke atas di dalam kapal dengan cara getah tanaman sungai. Ketika microconidia berkecambah, yang miselium dapat menembus dinding atas pembuluh xilem, memungkinkan lebih microconidia untuk diproduksi dalam kapal berikutnya. Jamur juga dapat memajukan lateral sebagai miselium menembus berdekatan pembuluh xilem xilem melalui lubang-lubang. Karena pertumbuhan jamur dalam jaringan vaskular tanaman, tanaman pasokan air sangat dipengaruhi.
Kurangnya air menyebabkan daun 'untuk menutup stomata, daun layu, dan akhirnya tanaman mati. Hal ini pada titik ini bahwa jamur menyerang tanaman parenchymatous jaringan, sampai akhirnya mencapai permukaan jaringan yang mati, di mana sporulates kelimpahan. Spora yang dihasilkan kemudian dapat digunakan sebagai inokulum untuk lebih lanjut baru penyebaran jamur. F. oxysporum terutama tersebar di jarak pendek oleh air irigasi dan peralatan pertanian yang terkontaminasi. Jamur ini juga dapat menyebar dalam jarak jauh baik dalam transplantasi terinfeksi atau di tanah. Walaupun kadang-kadang jamur dapat menginfeksi dan mencemari buah bijinya, penyebaran jamur dengan cara benih sangat jarang. Hal ini juga mungkin bahwa spora tersebar oleh angin.


1.2. Tujuan

Kegiatan ini betujuan untuk melihat pola pertumbuhan koloni dan hifa cendawan yang dapat dipengaruhi oleh media tumbuh, Ph media, suhu lingkungan. Selain pertumbuhan juga dilihat pengaruhnya terhadap produksi spora, dan ukuran spora.


BAB II. METODOLOGI

2.1. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari :
• Media tumbuh meliputi PDA, dektrosa agar, dan ekstrak kentang ( tanpa dekstrosa ) yang diberi antibiotik streptomisin 3000 ppm.
• Biakan murni cendawan Fusarium Oxysporum sp
• Air steril dan alkohol
• Plastik wrape, Aluminium foil, kapas
• Cawan petri
• Lampu bunsen
• Laminar air flow, Autoclave dll

2.1. Prosedur Kerja

Kegiatan dibagi menjadi 3 tahap :
Pertumbuhan cendawan pada media tumbuh yang berbeda: pengaruh Ph yang berbeda pada media tumbuh yang menunjukkan pertumbuhan terbaik, pengaruh suhu yang berbeda pada media yang mempunyai pertumbuhan terbaik.
• Untuk melihat pertumbuhan cendawan pada media biakan ( nutrisi ):
a) Siapkan masing-masing media biakan yang akan digunakan. Cara pembuatan media lihat buku ” Basic Plant Pathology Method “.
b) Tuangkan media yang sudah cair ( suhu ± 40º C ) kedalam petri. Setiap petri tuangkan 10-15 ml, goyang agar media menyebar rata pada permukaan petri. Pengerjaannya dilakukan pada leminar air flowdi ruang isolasi.
c) Jika media pada ruang petri sudah membeku inokulasikan biakan murni cendawan dibagian tengah. Agar biakan tidak terkontaminasi mikroorganisme dari udara luar pada bagian petri di isolasi menggunakan plastik wrape.
d) Inkubasikann kultur cendawan pada suhu kamar ± 30ºC.
e) Pengamatan dilakukan dengan mengukur pertumbuhan koloni cendawan pada hari ke 2,3,4,5 dan 6 setelah inokulasi. Agar memudahkan dalam pengukuran maka pada bidang dasar petri diberi 2 garis bantu ( garis tengah ) yang saling tegak lurus.
f) Pengerjaan pada masing-masing media diulang 4 kali.


• Untuk melihat pertumbuhan cendawan pada suhu yang berbeda:
Cara pengerjaan sama seperti percobaan 1. Media tumbuh yang digunakan adalah PDA. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar 20ºC dan 40ºC. Inkubasi pada suhu 20ºC dan 40ºC dilakukan dalam inkubator.

• Untuk melihat pertumbuhan cendawan pada PH media yang berbeda:
Cara pengerjaannya sama seperti percobaan 1. Media tumbuh yang digunakan adalah PDA.
a) Bagilah media PDA menjadi 3 bagian. Buatlah PH masing-masing bagian menjadi 4,6 dan 8.
b) Untuk membuat media asam ( 4 dan 6 ) kedalam wadah teteskan larutan HCL 2% sedikit demi sedikit sampai mencapai PH yang diinginkan. Usahakan agar larutan HCL merata pada setiap penambahan larutan HCL media digoyang-goyang agar larutan merata pada media agar. Pengukuran PH media menggunakan kertas indikator PH ( lakmus ). Untuk membuat PH media kedalam wadah teteskan larutan KOH 3 %.
c) Penambahan HCL atau KOH dilakukan saat media cair ( suhu ± 60ºC ). Setelah PH tercapai media di sterilisasikan dalam autoklaf.
d) Pengerjaan langkah selanjutnya sama seperti pada percobaan 1.
e) Inkubasikan kultur pada suhu kamar.
Harus diperhatikan akibat perubahan Ph maka akan menurunkan kemampuan pembekuan media oleh agar. Untuk itu maka keperluan agar perlu ditambahkan dari biasanya sebanyak 4-5 gram untuk pembuatan media sebanyak 1 liter.

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan cendawan pada media biakan ( nutrisi ).
ulangan perlakuan rerata diameter pengamatan
hari 1 hari 3
1 pl 3,25 4,95
1 ng 3,55 6,15
1 nk 0 0
2 pl 3,3 5,4
2 ng 3,7 6,15
2 nk 0 0
3 pl 3,2 5,4
3 ng 0 0
3 nk 3,5 6,35



Tabel 2. Hasil pengamatan pertumbuhan cendawan pada suhu yang berbeda.
ulangan Suhu ( ºC ) Rerata diameter pengamatan
hari 2 hari 4 hari 6
1 30 3,2 3,5 0
1 35 4 7 9
1 40 0 0 0
2 30 4 6,9 9
2 35 4 7 9
2 40 0 0 0
3 30 2,66 6,26 9
3 35 3,5 3,06 7,26
3 40 0 0 0



Tabel 3. Hasil pengamatan pertumbuhan cendawan pada Ph media yang berbeda.
ulangan Perlakuan ( Ph ) Rerata diameter pengamatan
hari 1 hari 2
1 ph7 3,1 3.9
1 ph5 2,65 3,95
1 ph3 2,15 2,9
2 ph7 3,1 4,15
2 ph5 2,75 4,1
2 ph3 3,3 4,65
3 ph7 3,1 0
3 ph5 0 0
3 ph3 3,2 4,0

Gambar konidia Fusarium oxysporum








3.2. Pembahasan
3.2.1. Nutrisi
Dalam budaya media padat, seperti agar-agar dekstrosa kentang (PDA), F.oxysporum dapat memiliki penampilan berbeda-beda. Secara umum, miselium udara pertama kali muncul putih, dan kemudian dapat berubah menjadi berbagai warna - mulai dari ungu ke ungu gelap - sesuai dengan regangan (atau bentuk khusus) dari F. oxysporum. Pada percobaan yang dilakukan dalam praktikum ini yaitu mengamati laju pertumbuhan Cendawan F. Oxysporum , yang dilakukan dengan perlakuan antara lain menggunakan media biakan PDA lengkap, non glukosa dan kentang, aktivitas yang di tunjukkan oleh F.oxysporum atau laju pertumbuhan yang diukur dari pertambahan panjang dari konidia F. Oxysporum yang diukur dalam cm, pada hari pertama (1) pengamatan terlihat rerata diameter yang dihitung dalam cm pada media dengan PDA lengkap dengan ulangan 1,2 dan 3 masing-masing adalah 3,25 ; 3,3 dan 3,2 , pada media non glukosa dengan ulangan 1,2, dan 3 masing-masing adalah 3,55 ; 3,7 dan 0 ( terkontaminasi ), dan selanjutnya pada media kentang dengan ulangan 1,2 dan3 masing-masing adalah 0 ; 0 dan 3,5. Selanjutnya pada pengamatan hari ketiga ( 3 ) terlihat rerata diameter yang dihitung dalam cm pada media PDA lengkap dengan ulangan 1,2 dan 3 masing-masing adalah 4,95 ; 5,4 dan 5,4 , pada media non glukosa dengan ulangan 1,2 dan 3 masing-masing adalah 6,15 ; 6,15 dan 0 ( terkontaminasi ) , selanjutnya pada media kentang dengan ulangan 1,2 dan 3 masing-masing adalah 0 ; 0 dan 6,35. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh , pada ulangan ketiga dengan menggunakan media non glukosa F. Oxysporum telah terkontaminasi oleh bakteri, hal ini terjadi dapat disebabkan oleh ketika penanaman F. Oxysporum didalam cawan petri terlebih dahulu terkontaminasi oleh bakteri dari udara luar.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah diperoleh diketahui bahwa F. Oxysporum akan laju pertumbuhannnya ketika dibiakkan pada media non glukosa, laju pertumbuhan F.oxysporum dapat dilihat dari grafik laju pertumbuhan F. Oxysporum pada media non glukosa diatas.
Pada perlakuan dengan media biakan ( nutrisi ) ini setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_1 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,2776 sedangkan untuk HR_2 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0001.

3.2.2. Suhu
Percobaan kedua yang dilakukan dalam praktikum ini adalah dengan memberikan perlakuan suhu yang berbeda kepada cendawan F. Oxysporum , perlakuan yang diberikan yaitu dengan suhu 30ºC, 35ºC dan 40ºC yang mana suhu 35ºC merupakan suhu kontrol ( suhu ruangan ), sedangkan untuk suhu 30ºC dan 40ºC perlakuan dilakukan dengan menggunakan alat inkubator. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan cendawan F.oxysporum pada suhu yang berbeda, sehingga diperoleh hasil dari pengamatan dimana cendawan F.oxysporum memperlihatkan aktivitas yang berbeda terhadap setiap perlakuan yang telah diberikan. Pertumbuhan cendawan F.oxysporum yang diukur berdasarkan perpanjangan konidia dalam cm pada pengamatan pertama ( hari ke 2 ) untuk perlakuan suhu 30ºC dengan ulangan 1,2, dan3 rerata diameter perpanjangan konidianya masing-masing adalah 3,2 ; 4 ; dan 2,66 ; untuk perlakuan suhu 35ºC dengan ulangan 1,2, dan 3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 4 ; 4 ; dan 3,5 ; dan untuk perlakuan suhu 45ºC semua perlakuan telah terkontaminasi oleh bakteri hal ini dapat disebabkan oleh kurang sterilnya alat yang digunakan pada saat menanam F. Oxysporum ,hal ini juga bisa disebabkan oleh masuknya bakteri dari udara luar pada saat penanaman. Pada pengamatan kedua ( hari ke 4 ) untuk perlakuan suhu 30ºC dengan ulangan 1,2,dan 3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 3,5 ; 6,9 ; dan 6,26 ; untuk perlakuan suhu 35ºC dengan ulangan 1,2,dan 3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 7 ; 7 dan 3,06, terjadi kekeliruan pada data jika dilihat pada pengamatan pertama pada ulangan ketiga rerata diameternya adalah 3,5 namun perlakuan pada pengamatan kedua rerata diameternya terjadi peurunan menjadi 3,06 hal ini mungkin terjadi kesalahan atau ketidak telitian dalah pengukuran nya sehingga data yang diperoleh adalah data error atau galat. Untuk suhu 40ºC F. Oxysporum telah terkontaminasi bakteri.Selanjutnya untuk pengamatan terakhir ( hari ke 6 ) untuk perlakuan suhu 30ºC dengan ulangan 1,2,dan 3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 0 ( untuk ulangan 1 telah terkontaminasi oleh bakteri kemungkinan yang terjadi adalah kesalahan dalam penutupan dan pengisolasian cawan petri sehingga udara dari luar dapat masuk ) ; 9 ;dan9. Untuk perlakuan suhu 35ºC dengan ulangan 1,2,dan3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 9 ;9 ; 7,26. Dan untuk perlakuan suhu 40ºC terkontaminasi dari awal. Sehingga untuk perlakuan dengan suhu dapat diketahui bahwa cendawan F. Oxysporum dapat laju pertumbuhannya pada keadaan suhu yang berkisar antara 30ºC - 35ºC sehingga cendawan yang menjadi patogen penyakit layu fusarium ini sangat mudah ditemui di daerah tropis seperti indonesia.
Pada perlakuan dengan menggunakan suhu setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_2 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0309, untuk HR_4 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0063, sedangkan untuk HR_6 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0719.



3.2.3. pH
Yang menjadi salah satu faktor lingkungan fisik untuk memungkinkan memacu pertumbuhan atau pan menjadi penghambat pertumbuhan dari cendawan F. Oxysporum yaitu keasaman tanah ( Ph ), karena kebanyakan dari cendawan biasanya hidup di tempat yang mengandung bahan organik yang tinggi dengan keasaman tanah ( Ph ) berkisar antara 3 – 5. Berdasarkan hal tersebut maka dalam praktikum ini yang dilakukan pada cendawan F. Oxysporum yaitu memberikan perlakuan Ph untuk mengetahui kemampuan pertumbuhan cendawan F. Oxysporum pada Ph yang berbeda-beda yaitu ph 7 ( kontrol ), ph 5 , ph 3. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada hari ke 1 dan hari ke 2 , dimana untuk perlakuan ph 7 rerata diameter pertumbuhannya dengan pengulangan 1,2,dan 3 pada hari ke 1 masing-masing 3,1 ; 3,1 ; 31 dan pada hari ke 2 masing-masing 3,9 ; 4,15dan ; ulangan ke 3 terkontaminasi bakteri dari udara luar hal ini terjadi dapat dikarenakan alat yang telah digunakan sewaktu peletakan cendawan F. Oxysporum pada media kurang steril atau cawan petri tidak tertutup dengan rapat. Untuk perlakuan ph 5 rerata diameter pertumbuhannya dengan pengulangan 1,2, dan3 pada hari ke 1 masing-masing adalah 2,65 ; 2,75 dan ulangan ke 3 terkontaminasi bakteri dari udara luar hal ini terjadi dapat dikarenakan alat yang telah digunakan sewaktu peletakan cendawan F. Oxysporum pada media kurang steril atau cawan petri tidak tertutup dengan rapat dan pada hari ke 2 masing-masing adalah 3,95 ; 4,1 dan ulangan ke 3 terkontaminasi bakteri dari udara luar hal ini terjadi dapat dikarenakan alat yang telah digunakan sewaktu peletakan cendawan F. Oxysporum pada media kurang steril atau cawan petri tidak tertutup dengan rapat. Selanjutnya perlakuan ph 3 dengan ulangan 1,2, dan 3 rerata diameter pertumbuhannya masing-masing adalah 2,15 ; 3,3 dan 3,2 dan pada hari ke 2 masing-masing adalah 2,9 ; 4,64 dan 4, dari hasil pengamatan yang telah diperoleh diketahui bahwa kemampuan cendawan F. Oxysporum untuk melakukan pertumbuhan yang paling baik adalah ketika berada pada kondisi ph yang berkisar antara ph 3- 5.
Pada perlakuan dengan menggunakan suhu setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_1 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,2889, dan untuk HR_2 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,7170.


BAB IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dari praktikum inokulasi ( Fusarium oxysporum ) yang bertujuan untuk melihat pola pertumbuhan koloni dan hifa cendawan yang dapat dipengaruhi oleh media tumbuh, Ph media, suhu lingkungan. Selain pertumbuhan juga dilihat pengaruhnya terhadap produksi spora, dan ukuran spora, diperoleh kesimpulan bahwa cendawan Fusarium oxysporum dapat tumbuh dengan baik pada media nutrisi nonglukosa dan suhu yang berkisar antara 30ºC - 35ºC dengan keasaman ( ph ) yang berkisar antara 3 – 7 , hal ini terlihat pada hasil pengamatan yang menunjukkan lajunya pertumbuhan Fusarium oxysporum pada keadaan tersebut.
Pada perlakuan dengan media biakan ( nutrisi ) ini setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_1 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,2776 sedangkan untuk HR_2 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0001.
Pada perlakuan dengan menggunakan suhu setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_2 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0309, untuk HR_4 tidak berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0063, sedangkan untuk HR_6 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,0719.
Pada perlakuan dengan menggunakan suhu setelah dilakukan perhitungan menggunakan SAS System diperoleh hasil bahwa pada HR_1 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,2889, dan untuk HR_2 berbeda nyata, dengan Pr > F 0,7170.




DAFTAR PUSTAKA


Nuryani, W., I. Djatmika, D. S. Badriyah dan H. J. M. Lofler. 2001. Skrining kultur Galadiol terhadap patogenesitas tiga isolat Fusarium oxysporum f. sp. Gladiol. J. Hort. 11:119-124.
Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional Surabaya. Indonesia.
Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Eceng gondok (Eichhornia crassipes )



Eceng gondok (E. crassipes)

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Commelinales
Famili : Pontederiaceae
Genus : Eichhornia
Kunth Spesies : E. crassipes

Nama binomial
Eichhornia crassipes
(Mart.) Solms



Eceng gondok atau enceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.[2] Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya.

Daftar isi
• 1 Deskripsi
• 2 Habitat
• 3 Dampak Negatif
• 4 Penanggulangan
• 5 Pembersih Polutan Logam Berat
• 6 Referensi

Deskripsi

Eceng gondok sedang berbunga
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Habitat

Sungai yang dipenuhi enceng gondok

Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ektrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Laporan FAO). Kandungan garam dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah pantai Afrika Barat, di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau.
Dampak Negatif


Kolam yang dipenuhi eceng gondok yang sedang berbunga
Akibat-akibat negatif yang ditimbulkan eceng gondok antara lain:
• Meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
• Menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air (DO: Dissolved Oxygens).
• Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.
• Mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari sungai seperti di pedalaman Kalimantan dan beberapa daerah lainnya.
• Meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia.
• Menurunkan nilai stetika perairan.
Penanggulangan
Karena eceng gondok dianggap sebagai gulma yang mengganggu maka berbagai cara dilakukan untuk menanggulanginya. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya antara lain:
• Menggunakan herbisida
• Mengangkat eceng gondok tersebut secara langsung dari lingkungan perairan
• Menggunakan predator (hewan sebagai pemakan eceng gondok), salah satunya adalah dengan menggunakan ikan grass carp (Ctenopharyngodon idella) atau ikan koan. Ikan grass carp memakan akar eceng gondok, sehingga keseimbangan gulma di permukaan air hilang, daunnya menyentuh permukaan air sehingga terjadi dekomposisi dan kemudian dimakan ikan. Cara ini pernah dilakukan di danau Kerinci dan berhasil mengatasi eceng gondok di danau tersebut.
• Memanfaatkan eceng gondok tersebut, misalnya sebagai bahan pembuatan kertas, kompos, biogas, perabotan, kerajinan tangan, sebagai media pertumbuhan bagi jamur merang, dsb.
Pembersih Polutan Logam Berat

Walaupun eceng gondok dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi sebenarnya ia berperan dalam menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida.
Referensi
1. ^ aEceng Gondok, tumbuhan pengganggu yang bermanfaat. e-smartschool.com.
2. ^ (28 September 2003). Eceng Gondok, Gulma Sahabat Manusia?. U. Sirojul Falah. Harian Pikiran Rakyat.
3. ^ a b (4 Agustus 2006). Eichhornia crassipes (aquatic plant). Invasive Species Specialist Group (ISSG). Global Invasive Species Database.
4. ^ (28 Maret 2001). Mengendalikan Eceng Gondok Danau Kerinci. Nasrul Thahar. Harian Kompas.
5. ^ (30 Juni 2007). Eceng Gondok Untuk Bahan Bakar Biogas. Harian Kompas.
6. ^ (15 Januari 2007). Ngadiman Berbagi Ilmu Eceng Gondok. Stefanus Osa Triyatna. Harian Kompas.
7. ^ (2 Juli 2003). Eceng Gondok Pembersih Polutan Logam Berat. Dr Hasim DEA. Harian Kompas
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Tinjauan pustaka

Nematoda termasuk filum hewan, didalamnya termasuk nematoda parasit tanaman dan hewan, serta spesies nematoda yang hidup bebas. Nematoda parasit tanaman merupakan parasit obligat, mengambil nutrisi hanya dari sitoplasma sel tanaman hidup. Memiliki ukuran yang sangat kecil, tetapi menyebabkan kehancuran pada tanaman pangan dan hortikultura di seluruh dunia sehingga menyebabkan kerugian milyaran dollar.
Beberapa nematoda parasit tanaman adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies jenis ini menyebabkan kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang penting. Spesies lain, ada yang hidup di dalam akar, bersifat endoparasit migratori dan sedentari. Parasit migratori bergerak melalui akar dan menyebabkan nekrosis, sedangkan yang endoparasit sedentari dari famili Heteroderidae menyebabkan kehancuran yang paling banyak di seluruh dunia. Heteroderidae dapat dibagi ke dalam 2 grup yaitu : nematoda siste yang terdiri dari genus Heterodera dan Globodera dan nematoda puru akar (genus Meloidogyne). Nematoda siste kedelai (H. glycines)adalah patogen kedelai yang penting secara ekonomi di Amerika. Nematoda siste kentang (G. pallida dan G. rostochiensis) menyebabkan kehancuran tanaman kentang yang tersebar di seluruh dunia. Nematoda puru akar, menginfeksi ribuan spesies tanaman dan menyebabkan kehilangan hasil yang besar pada banyak tanaman di dunia. Gejala tanaman yang terinfeksi nematoda dari grup ini adalah pertumbuhan terhambat, layu, terdapatnya puru pada akar dan rentan terhadap patogen lain.
Beberapa cara pengendalian dapat dilakukan untuk mengendalikan nematoda antara lain : penggunaan nematisida kimia, rotasi tanaman dan penggunaan tanaman yang resisten. Penggunaan nematisida kimia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia karena toksisitasnya yang tinggi, sehingga saat ini penggunaan nematisida dibatasi. Pengendalian dengan rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang atau tanaman antagonis terhadap nematoda merupakan praktek pengendalian yang tertua, tetapi untuk melakukan rotasi yang efektif bukan hal yang mudah karena dibutuhkan waktu yang lama, keterbatasan
lahan serta sulitnya mendapatkan tanaman yang bukan inang yang bernilai ekonomi tinggi karena luasnya tanaman inang nematoda khususnya nematoda puru akar.
Nematoda mempunyai siklus hidup sederhana atau tidak sempurna yaitu telur, juvenil infektif dan imago. Nematoda mempunyai stadia resiten yang disebut dengan dauer juvenil, istilah dauer pertama kali digunakan oleh Fuchs pada tahun 1915. pada stadia ini nematoda mempunyai kemampuan bertahan hidup untuk waktu yang lama, kalau faktor – faktor lingkungan memungkinkan. Dauer adalah stadia ketiga juvenil yaitu setelah nematoda melepaskan kutikula pada stadia kedua.
Nematoda pradewasa mempunyai bentuk dan sturuktur yang sama dengan imagonya. Nematoda ini bersifat amphigonus yaitu mempunyai individu jantan dan betina serta dapat kawin untuk menghasilkan generasi baru. Nematoda dapat meletakkan telur dalam lingkungn atau di dalam serangga inangnya. Juvenil infektif biasanya melakukan ganti kulit didalam telur dan yang ditetaskan dari telur adalah juvenil stadia kedua. Nematoda mengalami empat kali ganti kulit sebelum menjadi imago. Nematoda perkembangannya sangat cepat, menjadi dewasa, kawin dan menghasilkan telur. Generasi kedua atau ketiga berkembang menjadi dauer pada kadaver dan mencari inang yang baru, apabila inang tidak ditemukan maka dauer dapat hidup untuk waktu yang cukup lama kalau kondisi lingkungan memungkinkan.


1.2. Tujuan

Kegiatan ini betujuan untuk mengamati koloni nematoda pada sampel tanah tanaman pisang yang berasal dari Siantan.

BAB II. METODELOGI

2.1. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari :
a) Sampel tanah tanaman pisang dari Siantan
b) Air bersih
c) Ember
d) Cawan petridis
e) Mikroskop hama
f) Pipet ukur
g) Gelas plastik
h) Saringan ( 60 mesh, 120 mesh, 180 mesh dan 250 mesh )
i) Wadah penampung ( baskom )


2.2. Prosedur kerja

a) Disiapkan sampel tanah.
b) Diletakkan sampel tanah diatas saringan bertingkat ( paling atas 60 mesh, 120 mesh, 180 mesh dan paling bawah 250 mesh ).
c) Disiram dengan air bersih ( penyaringan dapat dilakukan 2 kali )
d) Diambil tanah yang masuk kedalam wadah penampung yang telah bercampur air dan dimasukkan kedalam gelas plastik.
e) Diambil sebagian tanah yang bercampur air dari dalam gelas plastik.
f) Dimasukkan kedalam cawan petridis.
g) Diamati dibawah mikroskop hama.

BAB III. PEMBAHASAN

Nematoda termasuk filum hewan, didalamnya termasuk nematoda parasit tanaman dan hewan, serta spesies nematoda yang hidup bebas. Nematoda parasit tanaman merupakan parasit obligat, mengambil nutrisi hanya dari sitoplasma sel tanaman hidup. Memiliki ukuran yang sangat kecil, tetapi menyebabkan kehancuran pada tanaman pangan dan hortikultura di seluruh dunia sehingga menyebabkan kerugian milyaran dollar. Beberapa nematoda parasit tanaman adalah ektoparasit, hidup di luar inangnya. Spesies jenis ini menyebabkan kerusakan berat pada akar dan dapat menjadi vektor virus yang penting. Spesies lain, ada yang hidup di dalam akar, bersifat endoparasit migratori dan sedentari. Parasit migratori bergerak melalui akar dan menyebabkan nekrosis, sedangkan yang endoparasit sedentari dari famili Heteroderidae menyebabkan kehancuran yang paling banyak di seluruh dunia.
Pada praktikum ini yaitu mengamati koloni nematoda hal pertama yang dilakukan adalah menyaring sampel tanah yang berasal dari tanah tanaman pisang di Siantan menggunakan saringan dengan ukuran yang khusus untuk mendapatkan nematoda yaitu dengan saringan bertingkat yang ukurannya mulai dari yang paling besar 60 mesh, 120 mesh, 180 mesh dan yang paling kecil ( halus ) 250 mesh. Penyaringan dimulai dengan meletakkan sampel tanah diatas saringan yang paling atas dengan ukuran 60 mesh dan disiram dengan air bersih, di bawah saringan di letakkan wadah penampung butiran tanah yang paling halus yang bercampur air dan yang mungkin terdapat nematoda. Penyaringan dapat dilakukan 1 sampai 2 kali, apabila lebih memungkinkan seresah-serasah pada tanah yang halus juga mungkin akan ikut tersaring dan masuk kedalam wadah penampungan, hal ini memungkinkan akan menyulitkan dalam pengamatan. Tanah yang sudah tersaring tersebut yang bercampur air dimasukkan ke dalam gelas plastik, untuk memudahkan pengamatan diambil sedikit dan dimasukkan kedalam cawan petridis dan di amati keberadaan nematoda dibawah mikroskop hama, pada pengamatan dengan pengambilan tanah pertama ditemukan 2 nematoda, namun tidak dapat dipindahkan karena dengan ukuran yang sangat kecil semakin menyulitkan dalam pengambilannya. Pada pengambilan tanah yang kedua juga ditemukan nematoda nemun lebih banyak dari yang pertama, nematoda yang terlihat mungkin hanya berukuran beberapa milimikron, dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan kedua ujung meruncing, dan berwarna putih bening ( transparan ).
Nematoda merupakan binatang yang panjang seperti tabung, bergerak seperti ular dan mikroskopis ( 200µm – 1 cm ). Morfologi nematoda berbentuk seperti benang, badan silindris meruncing pada kedua ujungnya bilateral simetris, tidak beruas-ruas ( beberapa jenis memiliki garis melintang / seperti bercincin-cincin, badan nematoda terdiri dari dua tabung, bagian luar : ( kutikula, hipodermis, dan sel-sel neuromuskuler ) , dan bagian dalam ( cairan alat pencernaan dan organ reproduksi / gonad ). Kutikula tidak berwarna, dihasilkan oleh hipodermis, mengandung senyawa matrisin dan serat kalogen. Pergantian kulit terjadi sebelum nematoda dewasa ( pada saat larva / yuvenil ), pada umumnya sebanyak 4 kali. Mulut dikelilingi dengan 6 labium ( bibir ), sekeliling mulut terdapat papila ( tonjolan , didalam mulut terdapat stilet ( alat pencucuk ).
Penyebaran adalah merupakan suatu mekanisme perilaku nematode patogen serangga yang digunakan pada suatu habitat untuk hidup dan melakukan infeksi penyebaran nematoda dapat bersifat aktif dan pasif. Nematoda menjadi sangat agresif untuk menyebar setelah nematoda tersebut melihat inangnya dan sebagian lagi tidak agresif serta menunggu inang untuk mendekatinya dan apabila inang semakin mendekatinya maka nematoda semakin agresif. Nematoda dapat menyebar secara passif melalui perpindahan angina, air, dan aktifitas manusia. Inang foretik mempunyai peranan yang sangat penting untuk penyebaran nematoda di dalam tanah. Namatoda patogen serangga sangat potensial untuk digunakan dalam ekosistem pertanian, tetapi keberhasilan nematoda untuk mengendalikan serangga inangnya sangat ditentukan oleh komponen – komponen lingkungan tersebut seperti kelembaban, temperatur, sinar matahari. Nematoda tidak tahan terhadap kelembaban yang rendah. Pada kondisi lingkungan yang kelembabannya 85 % sampai 98 % junevil infektif akan mati dalam waktu 10 jam pada temperatur 30 0C dan 36 jam pada temperatur 5 0C, sedangkan kelembaban 20 % sampai sekitar 98 % junevil infektif akan mati dalam waktu 2.5 jam pada temperatur 30 0C. Temperatur ekstrim merupakan faktor pembatas untuk kelangsungan hidup dan kemampuan mematikan inang dari nematoda patagen serangga. Pada temperatur 30 0C, jika nematoda menginfeksi inangnya maka kematian inang akan terjadi dalam waktu 16 jam. Nematoda potongen serangga menjadi tidak aktif bahkan kematian dapat terjadi dalam waktu kurung satu jam apabila terkena sinar matahari secara langsung.
BAB IV. KESIMPULAN

Nematoda termasuk filum hewan, didalamnya termasuk nematoda parasit tanaman dan hewan, serta spesies nematoda yang hidup bebas. Nematoda parasit tanaman merupakan parasit obligat, mengambil nutrisi hanya dari sitoplasma sel tanaman hidup. Memiliki ukuran yang sangat kecil, tetapi menyebabkan kehancuran pada tanaman pangan dan hortikultura. Nematoda merupakan binatang yang panjang seperti tabung, bergerak seperti ular dan mikroskopis ( 200µm – 1 cm ). Morfologi nematoda berbentuk seperti benang, badan silindris meruncing pada kedua ujungnya bilateral simetris, tidak beruas-ruas ( beberapa jenis memiliki garis melintang / seperti bercincin-cincin, badan nematoda terdiri dari dua tabung, bagian luar : ( kutikula, hipodermis, dan sel-sel neuromuskuler ) , dan bagian dalam ( cairan alat pencernaan dan organ reproduksi / gonad ). Kutikula tidak berwarna, dihasilkan oleh hipodermis, mengandung senyawa matrisin dan serat kalogen. Pergantian kulit terjadi sebelum nematoda dewasa ( pada saat larva / yuvenil ), pada umumnya sebanyak 4 kali. Mulut dikelilingi dengan 6 labium ( bibir ), sekeliling mulut terdapat papila ( tonjolan , didalam mulut terdapat stilet ( alat pencucuk ).
Nematoda yang terlihat dalam pengamatan mungkin hanya berukuran beberapa milimikron, dengan bentuk melengkung seperti bulan sabit dengan kedua ujung meruncing, dan berwarna putih bening ( transparan ).

DAFTAR PUSTAKA

Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional Surabaya. Indonesia.
Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Williamson. V.M & Richard. S.H. 1996. Nematoda Patogen dan resistensi Tanaman. Sel Tanaman. 8 : 1735-1745.
1. ORTHOPTERA
Jangkrik
1a......femur kaki belakang jelas lebih besar dari pada femur kaki depan
2a......antena sama panjang atau lebih panjang dari panjang seluruh tubuh
3a......tarsi 3 ruas, ovipositor panjang seperti jarum
GRYLLIDAE
Anjing tanah / orong-orong
1a......femur kaki belakang jelas lebih besar dari pada femur kaki depan
2b......antena panjangnya kira-kira separuh atau lebih pendek dari panjang seluruh tubuh
4a......tibia kaki depan membesar dan digunakan untuk menggali
GRYLLOTALPIDAE
2. HOMOPTERA
Keriang
1a......tarsi 3 ruas, antena sangat pendek berbentuk bulu keras, paruh muncul dari belakang kepala
2a......antena berpaut pada kepala dimuka dan diantara mata
3a¬......dengan 3 buah oceli, ukuran besar, sayap bersifat membran, yang jantan mempunyai alat suara terletak didasar abdomen, bukan serangga peloncat
CICADIDAE
3. HEMIPTERA
Walang sangit
1b......antena sama atau leboih panjang dari kepala,ada atau tidak ada arolia, habitat beragam
7b......ciri-ciri tidak seperti 6a ( dengan alat tambahan caudal yang panjang, tarsi 1 ruas, tibia kaki belakang ramping
8b......tarsal clawbarpaut pada bagian ujung tarsus, ruas terakhir tarsus tidak membelah
10b....sayap depan tidak seperti 10a ( sayap depan tampak seperti ayaman halus )
12b....alat mulut berbentuk paruh terdiri atas 4 ruas
19b....tidak seperti pada 19a ( kaki depan reptorial ( untuk memegang ), hemelytra dengan vena-vena dekat pinggiran sayap )
20b....sayap depan tidak seperti 20a ( sayap depan dengan sebuah cuneus dan patahan membran dengan 2 sel basal, femur kaki depan membesar )
21b....ocelli ada
23b....tidak seperti pada 23a ( kepala dengan celah transversal dimuka ocelli, tubuh dan kaki panjang dan ramping, ruas pertama antena panjang dan membesar, pada bagian apikal ruas terakhir berbentuk seperti tongkat )
24b....membran sayap depan dan dengan banyak vena
25b....kelenjar bau ada, bermuara diatas coxa tengah dan belakang, biasanya berwarna gelap
26a....kepala lebih pendek dan lebih sempit dari pada pronotum
COREIDAE
4. COLEOPTERA
KUMBANG BADAK
1b......coxa kaki tidak membagi sternit abdominal pertama menjadi 2 bagian.
9b......kepala tidak memanjang menjadi sebuah moncong, palpi biasanya fleksibel atau dapat digerakkan
11b....elytra panjang, biasanya menutup abdomen, bentuk antena beragam
15a....antena dengan ruas ke-3 sampai ke-7 membesar di satu sisinya membentuk seperti sisir yang dapat membuka dan menutup. Kaki mengalami modifikasi sebagai alat untuk menggali ( seri lamellicornia )
16b....elytra tidak sangat kasar
17a....ruas antena terakhir membentuk benjolan gada panjang dan membesar, tibia kaki belakang dengan 2 duri apikal, clypeus meluas menutup mulut dan mandibula, ruas terakhir abdomen hanya sebagian yang tidak tertutup oleh elytra
SCARABAEIDAE
Kumbang kelapa
1b......coxa kaki belakang tidak membagi sternit abdominal pertama menjadi 2 bagian
9a......kepala biasanya menjorok / memanjang menjadi sebuah moncong, palpi biasanya kaku tidak dapat digerakkan, tarsi dengan 3 atau 4 ruas, antena berbentuk siku ( elbow ), laeva mempunyai kaki kecil atau tidak berkaki ( Seri rhynchophora )
10a....moncong tidak ada atau amat pendek dan luas, tubuh silindris, berambut banyak
SCOLYTIDAE
5. LEPIDOPTERA
NGENGAT HANTU
2b......antena dengan beragam bentuk, tetapi biasanya tidak dengan ujung yang berbentuk bonggo, apabila antena berbentuk bonggol biasanya dapat ditemukan frenulum, ocelli ada atau tidak ada
10b....sayap bersisik biasa
11b....sayap normal
12b....tidak seperti 12a ( sayap panjang dan ramping, badan tegap, meruncing kearah ujungnya, antena menebal seperti tongkat )
13b....kupu-kupu dengan ukuran yang jauh lebih kecil
14b....tidak seperti 14a ( SC + R1 disayap belakang tidak ada, kupu aktif siang hari, pemakan bunga, mempunyai sayap sempit dan berwarna hitam, bagian tengah sayap belakang agak terang )
15b....tidak seperti 15a ( ukuran kecil sempit sedang, warna muda, biasanya dengan bintik-bintik atau pita yang berwarna cerah, Cu pada sayap belakang dengan 4 cabang, Sc menebal pada pangkalnya )
16a....ukuran sedang, badan gemuk, sayap depan agak sempit, berwarna suram atau kusam, dikenal secara umum, terbang malam hari dan tertarik cahaya, ciri yang lebih tepat adalah Sc dan R sayap belakang menyatu didekat basal aerole, Cu sayap belakang dengan 3-4 cabang
NOCTUIDAE
6. HYMENOPTERA
Lebah kertas
1b......abdomen bersambung dengan thoraks dengan sebuah ruas yang ramping ( Sub ordo Apocrita )
5a......dengan sayap
6b......trochanter kaki belakang terdiri atas 1 ruas, antena terdiri atas 12 ruas ( betina ) dan 13 ruas ( jantan ), sayap belakang dengan sel tertutup
11a....sudut belakang pronotum menyentuh atau hampir menyentuh tegula
12b....petiolus tidak seperti 10a ( petiolus dengan sebuah bonggol ( nodus ) yang tegak, antena 6 – 13 ruas, berbentuk menyiku ( betina ), ruas pertama sangat panjang )
13a....sayap depan dengan sel discoidal pertama panjang, sayap dapat dilipat membujur pada saat hinggap
VASPIDAE
Lebah penyerbuk bunga
1b......abdomen bersambung dengan thoraks dengan sebuah ruas yang ramping ( Sub ordo Apocrita )
5a......dengan sayap
6b......trochanter rdiri atas 1 ruas, antena terdiri atas 12 ruas ( betina ) atau 13 ruas ( jantan ), sayap belakang dengan sel tertutup
11b....sudut belakang pronotum tidak dekat dengan tegula
16b....ruas pertama tarsi kaki belakang agak memanjang dan memipih
17a....tibia kaki belakang tanpa runcingan pada ujungnya, 3 buah sel sub marginal
APIDAE
KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah “ MEKANISASI PERTANIAN ” yang kami buat ini menyangkut tentang “ Penerapan Mekanisasi Pertanian “ . Adapun tugas makalah yang disusun ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya berasal dari buku-buku perpustakaan dan internet. Makalah ini merupakan tugas terstruktur yang ditujukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata Kuliah Mekanisasi Pertanian.

Penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak (teman-teman dan dosen pengasuh mata kuliah ini) sehingga tugas ini dapat dikerjakan dan selesaikan dengan sesungguh-sungguhnya. Akhir kata , semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien…



Pontianak, April 2008

















DAFTAR ISI



Kata pengantar………………………………………………………………….………i
Daftar isi………………………………………………………………………………. ii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………….…. 1
A. Pengertian Mekanisasi Pertanian………………………………………...…. 1
BAB II. ISI ……………………………………………………………………………. 2
A. Penerapan Mekanisasi Pertanian di Indonesia…………………......……….. 2
B. Jenis Peralatan………………………………………………………..…….. 4
C. Spesifikasi Teknis Peralatan Efisiensi dan Biaya………………………...… 5
D. Bentuk Kemitraan………………………………………………………...… 5
Pembahasan……………………………………………………………… 7
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN…………………..…………………………. 9
A. Kesimpulan………………………………………………………………….. 9
B. Saran………………………………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 10

BAB I. PENDAHULUAN


A. Pengertian Mekanisasi Pertanian

Selama ini mekanisasi pertanian sering diberi pengertian identik dengan traktorisasi. Pengertian yang keliru ini perlu diluruskan, karena mekasisasi pertanian dalam pengertian Agriculture Engineering, mencakup aplikasi teknologi dan manajemen penggunaan berbagai jenis alat mesin pertanian, mulai dari pengolahan, tanah, tanam, penyediaan air, pemupukan, perawatan tanaman, pemungutan hasil sampai ke produk yang siap dipasarkan.
Dari tujuannya, aplikasi mekanisasi pertanian dimaksudkan untuk menangani pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan sevara manual, meningkatnya produktivitas sumberdaya manusia, efisien dalam penghgunaan input produksi, meningkatkan produktivitas dan kualitas dan memberikan nilai bagi penggunanya. Penerapan mekanisasi pertanian menuntut adanya dukungan berbagai unsure, seperti tenaga professional dibidang menajemen, teknik, / mekanik, operator, ketersediaan perbengkelan , ketersediaan bahan bakar, pelumas suku cadang serta ketersediaan unsure-unsur pendukungnya, merupakan persyaratan agar mekanisasi pertanian mampu dikembangkan dan dirasakan manfaatnya sesuai dengan tujuan modernisasi pertanian.





BAB II. ISI


A. Penerapan Mekanisasi Pertanian di Indonesia

Meskipun dalam jumlah dan jenis peralatan yang terbatas, alat mesin pertanian telah lama digunakan di indoesia, terutama di perkebunan-perkebunan. Sedangkan yang dapat dicatan sebagai awal perkembangan penggunan alat mesin secara besar-besaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh PN Mekatani sekitar tahun enem puluhan. Kegagalan yang kemudian dialami PN mekatani, selain disebabkan pleh masalah teknis dan manajemen, kondisi lingkungan pada waktu itu belum mendukung pengembangan mekanisasi pertanian untuk tanaman pangan. Perkembangan / kemajuan teknologi dibidang pertanian masih berjalan lambat. Pakar sosiologi masih mengawatirkan akan meningkatnya pengangguran akibat mekanisasi, karena 70 – 80 % penduduk masih menggantungkan hidupnya disektor pertanian. Dari aspek ekonomi penggunaan alat mesin pertanian masih dianggap terlalu mahal.
Dalam rangka peningkatan produksi pangan di daerah yang belum mendapat pelayanan irigasi, Departemen Pertanian di awal PJP-1 ( sekitar 70 an ), telah menyebarkan pompa air yang disertai dengan pelatihan teknis penggunaan maupun pengelolaannya di tingkat petani. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Aceh, Jambi, Sulawesi Selatan. Dalam program ini sebagian berhasil dan sebagian lagi mengalami kegagalan. Kalau dikaji Kegagalannya, selain masalah kesulitan suku cadang, dukungan perbengkelan dan masalah teknis lainnya, pada umumnya disebabkan oleh pelaksanaan manajemen operasi dan perawatan yang menyimpang dari ketentuan.
Dengan adanya revolusi hijau, yaitu munculnya varietas padi unggul, PB 5 dan PB 8, mekanisasi pertanian secara selektif semakin berkembang, meskipun tetap diwarnai berbagai kelemahan. Salah satunya adalah masalah penggunan mesin penyosoh beras ( huller ). Yang hampir semuanya di impor dari jepang. Secara teknis peralatan tersebut kurang sesuai dengan tingkat kekerasan kulit gabah di Indonesia, sehingga banyak nears yang hancur.
Sekitar tahun 1985 / 86, beberapa pabrik tebu di Sumatra mengoperasikan alat penebang tebu ( harvester ). Mesin ini yang di negeri pembuatannya ( Jerman ) dan beberapa Negara lainnya banyak digunakan karena kinerjanya yang baik, penggunaannya dikebuntebu tersebut dinyatakan tidak efisien, banyak tebu tertinggal tidak terpotong ( 20% ) dan akhirnya penebangan tebu dikembalikan ke system manual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemilihan alat tersebut tidak tepat. Spesifikasi teknis serta persyaratan penggunaannya tidak sesuai dengan kondisi kebun dan tebu yang akan ditebang, bentuk, ukuran dan kelandaian kebun tidak sesuai dengan persyaratan penggunaan mesin tersebut. Disamping itu pisau pemotong yang seharusnya diasah kembali setiap jumlah jam pemakaian tertentu tidak dilakukan dan pokok tebu yang ditebang tidak tumbuh tegak, tetapi banyak yang rebah.
Dipulau lombok terdapat sekitar 120 sumur dalam ( deep well ) yang di lengkapi dengan pompa air yan dikembangkan oleh Proyek pengembangan Air tanah, Dep. Pekerjaan Umum, untuk membantu pengairan. Tetapi belum banyak petani yang mau memanfaatkan sarana tersebut, karena biayanya dianggap terlalu mahal. Dalam tahun 1994, untuk satu jam pengoperasian pompa dikenakan biaya sebesar Rp 1500, ( debit antara 8 – 15 l/detik ). Tetapi karena penyaluran air dari pompa ke petak sawah petani masih menggunakan saluran tanah, banyak air hilang selama penyalurannya, sehingga petani harus membayar lebih mahal untuk jumlah air yang dibutuhkan karena diperlukan jam operasi pompa lebih lama. Dalam hal ini, tidak adanya unsure pendukung berupa system penyaluran air yang efisien, menjadi penyebab pelayanan jasa air dengan pompa urang diminati oleh petani.
Dalam pelaksanaan penyiapan lahan diProyek lahan Gambut ( PLG ) Kalimantan Tengah selama 1996/1997 telah berpuluh-puluh bajak singkal yang patah, karena pengoperasiannya dan manajemen yang kurang tepat dan keadaan lapangan yang tidak memenuhi persyaratan ( banyaknya akar/ tunggul tertinggal ) untuk pengolahan tanah dengan traktor tangan yang dilengkapi bajak singkal.
Pengembangan penerapan mekanisasi ditingkat petani tidak berarti bahwa setiap petani harus memiliki sendiri peralatan yang yang diperlukan, mengoperasikan dan mengolahnya. Penerapan mekanisasi memerlukan investasi, memerlikan sumber daya manusia yang berpengetahuan teknik/mekanik, manajemen pengoperasian dan perawatan, dukungan perbengkelan, suku cadang dan sebagainya. Pengembangan penerapan mekanisasi pertanian dapat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan penyelesaian pekerjaan berbagai jenis kegiatan usaha tani yang diperlukan dan tidak mampu dikerjakan oleh petani dengan menggunakan alat mesin pertanian. Karena alas an kekurangan tenaga maupun dari mahalnya upah kerja. Sehingga penerapan mekanisasi pertanian bagi petani, dapat dirasakan manfaat tanpa menambah beban permasalahan teknis, manajemen dan pembiayaan.
Pada saat ini terdapat dua system yang sudah berkembang yaitu system pemilikan dan system pemilikan jasa. Di pusat-pusat produksi beras seperti di Jawa atau Sulawesi Selatan telah banyak petani yang memiliki alat mesin pertanian, karena telah berpengalaman menguasai teknik mekanik, berkemampuan dalam pengoperasian dan pengelolaan, disamping kemudahan dalam memperoleh suku cadang, dukungan dan sebagainya.Bersamaan dengan itu, selain pelayanan penggilingan beras yang telah lebih dulu, juga telah berkembang usaha-usaha pelayanan jasa pengolahan tanah, penyediaan air dan sebagainya. Sistem ini telah berkembang karena adanya keuntungn bagi kedua belah pihak, yaitu bagi pemilik/pengelola alat mesin pertanian maupun bagi penerima pelayanan jasa yaitu petani.
Berkembangnya system pelayanan jasa mekanisasi pertanian, selain dari pertumbuhan pabrik penggilingan padi, antara lain dapat dilihat dari perkembangan pelayanan jasa pengolahan tanah menjelang musim tanam padi seperti dipusat produksi padi di pantai utara Jawa, atau Sidrap dan Pinrang di Sulawesi Selatan, atau system pelayanan air dengan pompa oleh swasta untuk padi/palawija di Wajo Sulawesi Selatan dan didaerah Bojonegoro di Jawa Timur, pelayanan jasa pengolahan tanah untuk mengejar waktu tanam tebu di Kalimantan Selatan ( Pleihari ), bahkan pelayanan listrik di daerah transmigrasi oleh swasta yang memiliki generator juga dapat dijumpai disalah satu UPT di Kalimantan Barat.


B. Jenis Peralatan

Seperti telah dikemukakan bahwa dalam pengertian Agriculture Engineering, tercakup berbagai alat mesin pertanian, mulai pengolahan tanah sampai pasca panen. Jenis mana diantara berbagai alat tersebut yang diperlukan, ditentukan oleh jenis pekerjaan dalam kegiataan usaha tani yang dianggap memerlukan bantuan tenaga mekanis dan masih dalam batas yang wajar dalam perhitungan biaya produksi.
Kalau dilihat dari sebaran dan besarnya jumlah kerja yang diperlukan ( biasanya dinyatakan dengan jumlah hari orang kerja atau HOK ), khususnya untuk padi, yang terbanyak memerlukan tenaga adalah pekerjaan pengolahan tanah, kemudian panen dan tanam. Terbangkalainya pekerjaan-pekerjaan tersebut juga terlihat di beberapa daerah transmigrasi, baik di Sumatra maupun di Kalimantan. Disamping itu oleh perbedaan iklim antar daerah atau lokasi, khususnya sebaran hujan dalam kaitannya dengan masa tanam dan varietas unggul yang berumur pendek, maka tidak jarang masa panen padi jatuh dalam bulan basah ( masih banyak hujan ), sehingga pengeringan menjadi masalah. Di daerah Cilamaya, Kerawang Jawa Barat petani telah mulai menanyakan alat tanam ( Transplanter ), karena tenaga kerja untuk tanam semakin sukar diperoleh dan kalaupun ada, besarnya upah kerja sudah dianggap terlalu mahal. Gambaran diatas menunjukkan bahwa jenis alat mekanis yang diperlukan, spesifik ( berbeda ) untuk setiap daerah dan tidak dapat disama ratakan, tergantung dari ketersediaan tenaga kerja, iklim dan pola/masa tanam setempat disamping pertimbangan biaya.


C. Spesifikasi Teknis Peralatan Efisiensi dan Biaya

Dipantura Jawa Barat ( Indramayu, Pamanukan, Subang, Kerawang sampai Serang ), banyak petani yang memiliki dan sekaligus memberikan pelayanan jasa pengolahan tanah kepada petani lain yang tidak memiliki traktor. Jenis traktor roda dua yang dipergunakan dikenal dengan sebutan kerbau besi, yaitu jenis traktor buatan local ( suatu bengkel di Indramayu ).Traktor ini hanya mempunyai kopling ( clutch ) tanpa versnelling. Jenis ini begitu banyak diminati oleh petani, karena dari segi konstruksi, perawatan dan perbaikan oleh petani tidak rumit, penggantian suku cadang mudah, harga terjangkau, hasil pekerjaan dianggap cukup memadai dan luwes dengan kondisi persawahan di Pantura Jawa Barat dengan bentuk dan luasan petak yang beragam. Bagi penerima jasa pelayanan, biaya pengolahan tanah masih wajar ( Rp 75000 – 100000/ h siap tanam, pada th 1994/1995 ) dan bahkan lebih murah disbanding dengan tenaga ternak ( sekitar Rp 150000 ).

D. Bentuk Kemitraan

Bentuk kemitraan antara lembaga atau wiraswastawan pemilik modal, teknologi dan manajemen dengan petani adalah suatu bentuk kerjasama yang telah dicanangkan dalam kebijaksanaan pemerintah untuk memacu pembangunan pertanian dalam PJP II selain tekhnologi dan manajemen, kelemahan dalam bidang pemasaran produk sampai saat ini masihmenjadi kendala dipihak petani. Dalam skala dan usahatani yang berbeda model kemitraan telah berjalan dan berkembang. Karena itu untuk lebih mengembangkan mekanisasi pertanian ( bukan hanya dalam pengertian aplikasi tetapi juga industri alat mesin pertanian ). Perlu dikaji kemungkinan pengembangan bentuk kemitraan yang tidak terbatas pada pelayanan jasa mekanisasi tetapi diperluas dengan system pemasaran produk pertanian yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Fisik lingkungan kerja Spesifikasi Teknis

Jenis pekerjaan, Harga
Jenis komoditi, Pola/masa Jaminan Purna Jual
Tanam, iklim/Sebaran hujan

Volume pekerjaan/ Kapasitas
Luas arel yang ditanami








Biaya produksi ( ? )


Pembahasan

Dengan isu-isu globalisasi, akhir-akhir ini semakin sering terdengar pendapat sejumlah petinggi Negara yang menyatakan perlunya modernisasi sector pertanian. Baik melalui ceramah, seminar maupun perbincangan dan wawancara di televisi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan status petani kejenjang yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat guna meningkatkan produktivitas dan pendapatannya. Salah satu sarana yang sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan tersebut adalah penerapan mekanisasi pertanian. Hal ini antara lain didorong oleh kenyataan adanya : Kecendrungan semakin berkurangnya tenaga kerja ( manusia maupun ternak ) di pedesaan, terutama didaerah pedesaan yang berdekatan dengan kota-kota pusat pertumbuhan ekonomi, dan Kurang produktifnya lahan-lahan pertanian yang sudah di sediakan pemerintah untuk transmigran di luar jawa, karena tidak tergarap oleh keterbatasan tenaga keluarga transmigran.
Keadaan ini juga dikhawatirkan akan mengganggu program pemerintah untuk mempertahankan swasembada pangan, pengembangan produk komoditi lainnya dan meluasnya lahan tidur ( tidak tergarap / produktif ).
Pertanian modern atau pertanian berbudaya industri ( istilah yang banyak dipakai saat ini ) adalah pertanian yang dikelola dengan kaidah-kaidahindustri. Yaitu pertanian yang berorientasi pasar, serta efisian dan efektif didalam penggunaan setiap sarana ( input ) produksi ( bibit, pupuk, peralatan dsb ) untuk mencapai produktifitas, kualitas dan keuntungan yang maksimum. Mekanisasi pertanian, meskipun saat ini sudah dianggap sebagai suatu sarana untuk mewujudkan pertanian modern, namun perlu disadari bahwa keberhasilan penerapan mekanisasi memerlukan ketepatan teknologi dan manajemen, disamping berbagai factor pendukung lainnya. Sehingga mekanisasi dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan dan bukan sebaliknya, yaitu justru menambah masalah dan beban biaya produksi bagi petani.
Petani Indonesia pada umumnya berpendidikan rendah. Untuk mengintroduksi teknologi baru maka diperlukan pelatihan dan pendidikan agar petani mampu mengoperasikan alsintan dengan baik dan aman. Pelatihan dan pendidikan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani sehingga dapat mengembangkan diri di sub sektor lain maupun di bidang agroindustri, serta memajukan cara berpikir petani.
Dengan penyediaan jasa penyewaan mesin, petani kecil yang tidak sanggup membeli alsintan dapat tertolong. Mereka dapat menggunakan mesin dan mendapatkan manfaat dari mesin tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk membelinya. Selain itu, petani yang berfungsi sebagai kontraktor dapat mendapatkan manfaat ganda. Mereka dapat memperoleh keuntungan dari pemanfaatan mesin maupun dari penyewaan mesin. Usaha jasa penyewaan alsintan oleh kelompok tani dan KUD kurang menguntungkan karena rendahnya profesionalisme dan pengelolaan yang kurang baik. Karena itu, kemampuan manajemen kelompok tani atau KUD perlu ditingkatkan agar mampu mendapatkan keuntungan dari usaha sewa jasa yang dilakukan. Untuk mendukung perkembangan lembaga-lembaga tersebut di atas, maka peran pemerintah sangatlah penting. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik itu di bidang mekanisasi pertanian, pertanian secara umum, perdagangan, perindustrian, keuangan, keagrariaan, maupun ketenagakerjaan dan pendidikan diharapkan dapat diselaraskan dalam mendukung perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia
Dari contoh diatas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa suatu jenis alat mesin pertanian, apabila telah diyakini, mampu menyelesaikan berbagai jenis kegiatan yang diperlukan, sesuai dengan kondisi setempat, teknis operasi, perawatan, dan pengelolaan dapat dikuasai dan dirasakan kegunaannya, oleh petani penerima jasa palayanan, maka penerapan mekanisasi dapat berkembang secara wajar.
Secara umum contoh tersebut juga menunjukkan bahwa spesifikasi teknis yang didasari kesesuaiannya dengan jenis pekerjaan dan kondisi lingkungan kerja alat, kemudahan dalam perawatan/perbaikan dan suku cadang, menjadi persyaratan awal dalam pemilihan suatu jenis aolat suatu mesin pertaian. Selanjutnya kapasitas merupakan dasar untuk menentukan jumlah alat yang layak untuk jenis dan volume pekerjaan atau luas areal yang dapat dilayani dan dengan dukungan system pengopeasian dan system pengelolaan yang professional, akan diperoleh pemakaian alat mesin yang efisien dan biaya pemakaian yang wajar dan tidak menambah beban biaya produksi usahatani bagi pengguna dan penerima pelayanan jasa mekanisasi.





BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan

Mekanisasi pertanian sering diberi pengertian identik dengan traktorisasi. Pengertian yang keliru ini perlu diluruskan, karena mekasisasi pertanian dalam pengertian Agriculture Engineering, mencakup aplikasi teknologi dan manajemen penggunaan berbagai jenis alat mesin pertanian, mulai dari pengolahan, tanah, tanam, penyediaan air, pemupukan, perawatan tanaman, pemungutan hasil sampai ke produk yang siap dipasarkan. Meskipun dalam jumlah dan jenis peralatan yang terbatas, alat mesin pertanian telah lama digunakan di indoesia, terutama di perkebunan-perkebunan. Pengembangan penerapan mekanisasi ditingkat petani tidak berarti bahwa setiap petani harus memiliki sendiri peralatan yang yang diperlukan, mengoperasikan dan mengolahnya. Penerapan mekanisasi memerlukan investasi, memerlikan sumber daya manusia yang berpengetahuan teknik/mekanik, manajemen pengoperasian dan perawatan, dukungan perbengkelan, suku cadang dan sebagainya.

B. Saran

Dari berbagai factor diatas, maka penerapan mekanisasipertanian yang efisien, baik oleh pemilik perorangan maupun lembaga pelayanan jasa, memperlakukan system operasi dan pengelolaan yang efisien. Untuk ini diperlukan ketersediaan tenaga kerja ( sumber daya manusia ) berlatar belakang pengetahuan teknik, mekanik, pertanian dan manajemen yang terhimpun dalam suatu lembaga yang dilengkapi dengan fasilitas perbengkelan.



DAFTAR PUSTAKA


Ciptohadijoyo, S., 1999, Alat dan Mesin Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
Darun, S. Matondang, Sumono, 1983, Pengantar Alat dan Mesin-Mesin Perkebunan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Harris Pearson Smith, A.E., Lambert Henry Wilkes, M. S., 1988 Farm Mechinery and Equipment, Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd, New Delhi
http://katalog.ipb.ac.id/jurnale/files/Aris_Priyanto_penerapan_mekanisasi_pertanian.pdf

Irwanto, A.K., 1983, Alat dan Mesin Budidaya Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwadi, T., 1999, Mesin dan Peralatan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
Sukirno. 1999, Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta

ekologi

KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah “ EKOLOGI TANAMAN ” yang kami buat ini menyangkut tentang “ Aktivitas Beberapa Proses Fisiologis Tanaman Kakao Muda di Lapangan Pada Berbagai Naungan “ . Adapun tugas makalah yang disusun ini berasal dari berbagai sumber, diantaranya berasal dari buku-buku perpustakaan dan internet. Makalah ini merupakan tugas terstruktur yang ditujukan untuk memenuhi tugas terstruktur mata Kuliah Ekologi Tanaman.

Penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak (teman-teman dan dosen pengasuh mata kuliah ini) sehingga tugas ini dapat dikerjakan dan selesaikan dengan sesungguh-sungguhnya. Akhir kata , semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien…



Pontianak, April 2008
















DAFTAR ISI



Kata pengantar………………………………………………………………….………i
Daftar isi………………………………………………………………………………. ii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………….…. 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………..…… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………2
C. Tujuan……………………………………………..………………………… 2
BAB II. ISI ……………………………………………………………………………. 3
A. Pembahasan…………………………………………………………………. 3
BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN…………………..…………………………. 8
A. Kesimpulan………………………………………………………………….. 8
B. Saran………………………………………………………………………… 8
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 9
LAMPIRAN



BAB I. PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG

Pada abad modern seperti saat ini hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari cokelat karena sifat cokelat yang dapat mencair dan meleleh pada suhu permukaan lidah. Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor pembahas utama konsumsi cokelat sehari-hari oleh masyarakat adalah harganya relatif tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lainnya. Produk cokelat yang umum dikenal masyarakat adalah permen cokelat (cocoa candy). Permen cokelat termasuk jenis makanan ringan yang jenisnya sangat beragam, dari permen yang bahan utamanya cokelat dan gula hingga permen yang bahan cokelatnya hanya sebagai pelapis permukaannya. Produk cokelat yang juga sangat populer adalah berbagai jenis makanan dan es krim (ice cream). Bubuk cokelat (cocoa powder) juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat kue dan pengoles roti. Di samping itu, ada produk antara produk setengah jadi yang kurang dikenal masyarakat, yaitu lemak cokelat (cocoa butter) yang umumnya digunakan oleh industri farmasi dan industri kosmetika (biasa digunakan untuk bahan pembuat lipstik). Produk cokelat dihasilkan melalui tahapan dan proses yang relatif panjang. Tanaman kakao, tanaman, buah, dan biji akan menghasilkan buah kakao yang di dalamnya terdapat biji-biji kakao. Dari biji-biji kakao ini, dengan perlakuan pasca panen, termasuk proses pengolahan dan pengeringan akan dihasilkan biji-biji kakao kering yang siap dikirim ke pabrik pengolah (prosesor). Oleh pengolah, biji kakao diolah menjadi produk-produk setengah jadi dan produk-produk sudah jadi.Pada masa yang akan datang, komoditas biji kakao yang ada di Indonesia diharapkan akan memperoleh posisi yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kopi dan kelapa sawit, baik dalam luas areal maupun produksinya. Sumbangan nyata biji kakao terhadap perekonomian Indonesia dalam bentuk devisa dari ekspor biji kakao dan hasil industri kakao. Sumbangan lainnya adalah penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri, baik industri bahan makanan maupun industri kosmetika dan farmasi. Yang tidak kalah pentingnya dari munculnya industri kakao adalah tersedianya lapangan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia, dari tahap penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, industri, dan pemasaran ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Kakao (Theobroma cacao, L) merupakan salah komoditas perkebunan yang sesuai untuk perkebunan rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi pekebun. Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian bawah hutan hujan tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh karena itu dalam budidayanya, tanaman kakao memerlukan naungan.
Sebagai daerah tropis, Indonesia yang terletak antara 6 LU – 11 LS merupakan daerah yang sesuai untuk tanaman kakao. Namun setiap jenis tanaman mempunyai kesesuian lahan dengan kondisi tanah dan iklim tertentu, sehingga tidak semua tempat sesuai untuk tanaman kakao, dan untuk pengembangan tanaman kakao hendaknya tetap mempertimbangkan
kesesuaian lahannya. Sebagai tananam yang dalam budidayanya memerlukan naungan, maka
walaupun telah diperoleh lahan yang sesuai, sebelum penanaman kakao tetap diperlukan persiapan naungan. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Oleh karena itu persiapan lahan dan naungan, serta penggunaan tanaman yang bernilai ekonomis sebagai penaung merupakan hal penting
yang perlu diperhatikan dalam budidaya kakao ( Soenaryo, 1978 ).
Tanaman kakao atau cokelat telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1560, tetapi baru menjadi komoditi yang sangat penting sejak tahun 1951. Jenis yang pertama sekali ditanam di Indoenesia Criollo, yaitu di daerah Sulawesi Utara yang berasal dari Venezuela. Pada tahun 1888 diperkenalkan bahan tanaman Java Criollo asal Venezuela yang bahan dasarnya adalah kakao asal Sulawesi Utara tersebut, sebagai bahan tanaman tertua untuk mendapatkan bahan tanaman unggul ( Badrun, 1991 ).
Seringkali produktivitas yang diperoleh rendah disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan awal tanaman akibat intensitas cahaya yang diterima di lapangan pada awal pertanaman tidak optimal untuk kakao muda, hal ini menyebabkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman kurang optimal. Faktor lingkungan dan penerapan teknik budidaya sangat mempengaruhi pertumbuhan awal tanaman yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi. Tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila ditanam pada kondisi ekologis yang sesuai. Salah satu factor lingkungan yang berperan penting terhadap pertumbuhan dan aktivitas fisiologi tanaman kakao yakni intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanaman. Kebutuhan cahaya matahari (intensitas cahaya matahari) pada tanaman kakao tergantung pada umur tanaman. Kebutuhan intensitas cahaya matahari berangsur-angsur meningkat sesuai dengan peningkatan umur tanaman ( Soenaryo, 1978 ).



B. RUMUSAN MASALAH

Pengembangan tanaman kakao, budidayanya memerlukan naungan. Tanpa persiapan lahan dan tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka permasalahan penting yang akan diangkat dalam makalah ini yaitu pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman.



C. TUJUAN

Yang menjadi dasar untuk tujuan penelitian ini adalah: Dorongan untuk memberikan informasi mengenai pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman, sehingga pembaca dapat mengetahui pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan aktivitas beberapa proses fisiologis tanaman kakao muda di pertanaman.



BAB II. ISI



A. PEMBAHASAN

Tamanam kakao merupakan tanaman yang mempunyai abitat asli hutan tropis dengan ciri-ciri kelembaban udara tinggi, suhu udara tinggi dan penyinaran matahari teduh. Kondisi habitat seperti ini ternyata bukan merupakan kondisi terbaik ditinjau dari segi produktivitas, tetapi bukan juga berarti penebangan hutan sampai habis akan meningkatkan produktivitas kakao. Penelitian-penelitian hingga saat ini memberikan petunjuk bahwa produktivitas kakao tertinggi dicapai pada keadaan lingkungan yang terlindungi sebagian dari terik matahari daerah tropis. Cara paling murah untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan memanfaatkan tanaman penaung. Kegiatan pemanfaatan tanaman penaung untuk tanaman kakao melibatkan banyak aspek, yaitu sinar matahari, suhu, kelembaban udara, lengas tanah, unsure hara dan bahan organic tanah, hama penyakit, serta gulma. Aspek-aspek ini berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas kakao. Penaung juga mempunyai hubungan yang erat dengan pemupukan. Sampai batas tertentu pengurangan penaung meningkatkan tanggapan tanaman terhadap pemupukan ( Anonim, 1998 ).
Kapuk randu (Ceiba pentandra) berpotensi sebagai tanaman penaung kakao. Namun kapuk randu telah terbukti sebagai inang berbagai jenis hama dan penyakit kakao. Selain itu, secara periodik tanaman ini menggugurkan daunnya menyebar tidak merata. Akibatnya cahaya yang diteruskan terlalu banyak atau fungsi penaungnya kurang baik. Tanaman kakao muda dalam pertumbuhannya memerlukan intensitas cahaya rendah, tanaman yang berumur 3-4 bulan membutuhkan sekitar 35%-40% intensitas cahaya matahari dan berangsurangsur meningkat sejalan dengan peningkatan unur tanaman. Makin tua umur tanaman makin tinggi tingkat kebutuhan cahaya matahari dan sebaliknya makin muda tanaman kebutuhan intensitas cahaya semakin rendah. Tingginya aktivitas fotosintesis pada jenis naungan kapuk randu mempengaruhi tingginya pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena kapuk randu mampu memfilter radiasi surya baik terhadap kuantitasnya maupun terhadap kualitasnya sehingga penerimaan intensitas cahaya di pertanaman mampu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman kakao muda ( Mamangkey,1983 ).
Faktor yang meliputi curah hujan, suhu, kelembapan udara, penyinaran matahari, dan kecepatan angin yang antar unsur tersebut mempunyai hubungan yang rumit. Iklim mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Karena itu, unsur ini perlu diperhatikan dalam membuat penilaian kesesuaian lahan Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. Pengelolaan air khususnya pada musim kemarau di tanah yang daya simpan airnya rendah menentukan produksi kakao. Proses fisiologi tanaman kakao juga dipengaruhi oleh suhu udara. Kelembapan udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu udara. Unsur ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3 – 6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembapan udara tinggi dan munculnya cendawan Phytophthora palmivora yang menjadi penyebab penyakit busuk buah ( Junianto dan Sri Sukamto,1987 ).
Kecepatan angin juga menentukan keberhasilan usaha tani kakao. Kecepatan angin yang tinggi dan berlangsung lama jelas akan merusak daun kakao, sehingga rontok dan tanaman menjadi gundul. Kerusakan kakao karena angin tersebut akan mempunyai dampak terhadap turunnya produksi kakao. Di daerah pegunungan yang setiap dua tahun sekali dari bulan Januari hingga Maret bertiup angin kencang bisa mengakibatkan kerusakan pertanaman kakao, sehingga produksinya hanya setengah dari potensinya ( Darjanto, 1977 ).
Semakin ringan tingkat naungan semakin banyak bunga yang tumbuh. Jika tanpa naungan, tanaman berbunga lebih awal dan jumlah bunga lebih banyak. Pada dasarnya, pengaruh naungan terhadap pembungaan tidak langsung. Faktor yang menentukan sebetulnya adalah iklim mikro yang terdiri atas suhu dan kelembapan udara. Namun, menurut hasil percobaan di Ghana, penyerbukan lebih efektif dan buah terbentuk paling banyak apabila kondisi naungan ringan, bukan pada kondisi tanpa naungan. Tanaman kakao memerlukan suhu optimal untuk berbunga. Apabila suhu turun di bawah 23oC, proses pembungaan akan terhambat. Suhu rendah mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan (deferensiasi) kuncup-kuncup bunga. Pada kondisi terkontrol menunjukkan bahwa jumlah bantalan bunga yang aktif di setiap pohon dan jumlah bunga yang terbentuk dari setiap bantalan bunga lebih banyak terjadi pada suhu 26oC dan 30oC dibandingkan dengan suhu 23oC. Bantalan bunga memerlukan rangsangan suhu yang hangat untuk dapat aktif menumbuhkan bunga. Di lain pihak, suhu yang terlalu tinggi juga menghambat pembungaan karena terjadi kerusakan pada hormon yang memacu diferensiasi sel dan pembungaan. Kakao merupakan tanaman tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan sangat peka terhadap kekurangan air atau cekaman lengas (stress). Pembungaan sangat berkurang apabila tanaman mengalami stress. Menurunnya pembungaan ini menurut Sale cit. Disebabkan oleh terhambatnya perkembangan tunas bunga tetapi awal pembentukan bunga (inisiasi bunga) tetap berlangsung selama cekaman lengas. Hal ini tampak pada tanaman yang mengalami kekeringan akan segera berbunga lebat apabila diairi. Peningkatan pembungaan yang spektakuler ini membuktikan bahwa sesungguhnya cekaman lengas tidak mencegah diferensiasi kuncup bunga tetapi menyebabkan kuncup bunga dalam keadaan dorman (istirahat). Transisi dari periode kering ke periode basah merupakan faktor penting yang mengatur intensitas pembungaan kakao. Pembungaan dapat pula diinduksi dengan meningkatkan kelembapan udara dari rendah (50 – 60%) atau sedang (70 -80%) ke kelembapan tinggi (90 – 95%) ( Winarsih, 1977 ).
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman hutan. Di dalam teknik budi daya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih dipertahankan, yaitu dengan memberu naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Masih dipertahankannya pemakaian naungan pada budidaya kakao disebabkan oleh tingkat kejenuhan cahaya untuk fotosintesis relatif rendah. Penetapan hasil fotosintesis bersih dapat diketahui dengan menghitung jumlah daun serta mengukur laju penyerapan CO2 per satuan luas daun. Jumlah daun lazimnya dinyatakan dengan LAI (leaf area index) yaitu besaran yang menyatakan nisbah (perbandingan/rasio) antara jumlah luas semua daun dan tanah yang ternaungi. Hasil fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya LAI, tetapi sesungguhnya juga sangat bergantung pada struktur tajuk dan pencahayaan. Daun-daun yang ternaungi tidak optimal dalam melakukan fotosintesis. Dari hasil penelitian terhadap kelayuan buah muda (cherelle wilt) dapat dibuktikan bahwa untuk berkembangnya satu buah kakao perlu didukung oleh 8 – 10 lembar daun dewasa yang sehat dan mendapat pencahayaan yang baik. Jika proporsi daun hanya 5 – 6 lembar untuk setiap buah, angka kelayuan buah muda sangat tinggi dan telah terjadi tiga minggu setelah pertumbuhannya ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Dibandingkan dengan tanaman keras lainnya, tanaman kakao mempunyai laju fotosintesis bersih yang rendah. Hasil penelitian di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menunjukkan ada perbedaan pada laju fotosintesis kakao lindak dengan kakao mulia. Kakao lindak lebih tahan terhadap penyinaran matahari dan pada kondisi tanpa naungan, laju asimilasi bersih terus meningkat. Sebaliknya, pada bibit kakao mulia laju asimilasi menurun pada intensitas cahaya lebih dari 80%. Pada dasarnya, manajemen pemangkasan tanaman kakao dan pengelolaan naungan dimaksudkan untuk memperoleh LAI optimal. Tujuan pemangkasan di samping untuk memperoleh tajuk (kanopi) yang ideal juga untuk meningkatkan aerasi dan penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman agar distribusi cahaya merata ke seluruh permukaan daun. Sementara itu, pohon naungan berfungsi untuk mengatur persentase penerimaan cahaya sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao. Telah disebutkan bahwa pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis optimum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Namun dalam praktik di kebun, telah dibuktikan bahwa pada tanah yang subur dan faktor-faktor tumbuh yang lain mendukung pertumbuhan tanaman yang baik, hasil biji tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa penaung ( Soenaryo, 1978 ).
Di Ivory Coast, jenis tanaman penaung kakao rakyat yang digunakan mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai sumber bahan pangan, obat tradisional, dan kayu bakar. Model pengembangan kakao adalah semi-intensif dengan sistem agroforestry karena memiliki keunggulan berupa masukan rendah dan risiko kecil. Dengan model tersebut, produktivitas kakao tidak maksimal, tetapi pekebun memperoleh kompensasi dari hasil tanaman penaung dan kelangsungan usaha taninya lebih terjamin. Pola seperti ini sudah berkembang di perkebunan rakyat Indonesia. Mereka menanam kakao di pekarangan dengan beragam spesies dan fungsi. Pengembangan perkebunan dengan pola tersebut lazim disebut dengan pola konservasi. Pola konservasi bertujuan untuk memperoleh kondisi fisik dan daya dukung lahan. Dengan pola konservasi, budidaya tanaman perkebunan dikombinasikan dengan tanaman penyangga lingkungan atau dengan pergiliran tanaman kayu-kayuan yang bersifat fast-growing (pertumbuhannya cepat) dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kayu akan menjadi komoditas strategis dan nilainya akan terus meningkat. Beberapa spesies tanaman kayu yang telah lazim diusahakan bersama dengan kakao adalah sengon (Paraseriantes falcataria), jati (Tectona grandis), dan mahoni (Mahagony sp.). pengembangan diversifikasi kakao dengan tanaman kayu industri dapat membantu fungsi hutan sebagai penyangga lingkungan. Pola tanam diversifikasi merupakan pilihan yang menjanjikan karena selain tidak memerlukan perawatan yang intensif, daur produksi sengon relatif pendek sehingga dapat dipakai sebagai target pendapatan jangka menengah. Sementara itu, tanaman jati dan mahoni lebih berfungsi sebagai tanaman sela yang memiliki nilai tinggi sebagai investasi jangka panjang. Tanaman kayu dapat dibuat pagar ganda dengan konsekuensi populasi tanaman kakao berkurang. Peningkatan populasi tanaman penghasil kayu disarankan ditanam di lahan yang kesesuaiannya S3 (sesuai dengan banyak kendala) untuk komoditas kakao. Tanaman penaung berfungsi sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Hasil fotosintesis tanaman kakao sebagian besar dipergunakan untuk menopang pertumbuhan vegetatif dan hanya sekitar 6% dipergunakan untuk pertumbuhan generatif. Dari bagian yang 6% tersebut tidak seluruhnya menjadi biji yang siap panen sebab sebagian besar buah kakao akan mengalami layu fisiologis yang lazim disebut dengan cherelle wilt. Sekitar sepertiga dari jumlah itu digunakan untuk menghasilkan biji kakao, sisanya untuk pertumbuhan kulit buah dan bunga. ( Wardani, 1988 ).
Budi daya tanaman kakao memerlukan pohon penaung yang berfungsi untuk mengurangi intensitas penyinaran, menekan suhu maksimal dan laju evapotranspirasi , serta melindungi tanaman dari angin kencang. Dengan kata lain, pohon penaung berperan sebagai penyangga (buffer) faktor-faktor yang lingkungan kurang menguntungkan pertumbuhan kakao. Tanaman kakao dapat berproduksi tinggi pada kondisi tanpa penaung asalkan semua faktor tumbuh dalam posisi yang optimal. Kenyataannya, kondisi seperti sukar dicapai atau mahal untuk mencapainya. Upaya yang tepat dalam budidaya kakao adalah menggunakan pohon penaung tetapi dengan pengaturan yang baik. Hasil pengamatan intensitas cahaya matahari di bawah tajuk tanaman kelapa yang berumur 20 tahun dengan jarak tanam 8 x 8 m menunjukkan nilai 60% terhadap penyinaran langsung. Penghambatan kelapa oleh tanaman kelapa tua (umur lebih dari 30 tahun) mencapai 50 – 70% untuk kelapa dalam (103 pohon/ha) dan 60 – 80% untuk kelapa genjah (223 pohon/ha). Kelapa dalam adalah jenis tanaman kelapa yang awal berbuahnya lama. Tinggi penetrasi cahaya matahari dari naungan pohon kelapa berubah seiring dengan umur kelapa, semakin tua umurnya penetrasi cahaya justru semakin besar. Proses fotosintesis dan pembentukan jaringan yang baru memerlukan mineral dari dalam tanah. Penyerapan dan penggunaan mineral ini relatif sedikit, lazim 1 : 40 (mineral : asimilat) ( Bahtiar dkk, 1989 ).
Peranan hara mineral ini amat penting karena beberapa mineral selain berperan secara struktural, juga berperan fungsional sebagai aktivator sistem enzim. Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa untuk menghasilkan 1.000 kg biji kering, diperlukan hara mineral N 31,0; P 4,9; K 53,8; Ca 4,9; Mg 5,2; Mn 0,11; dan Zn 0,09 (dalam satuan kg/ha/tahun). Jika diperhitungkan dengan jumlah yang diperlukan untuk menopang pertumbuhan dan hasil 1.000 kg/ha/tahun, jumlah tersebut meningkat menjadi N 469,0; P 52,9; K 686,8; Ca 377,9; Mg 134,2; Mn 6,21; dan Zn 1,59. Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi tinggi, yaitu 20 – 50% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi tidak menghasilkan energi yang bermanfaat bagi tanaman sehingga upaya untuk menekan laju fotorespirasi berarti juga upaya untuk meningkatkan produktivitas, antara lain dengan pemberian pohon naungan.
Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman. Selain lewat proses transiprasi, kehilangan air juga dapat melalui evaporasi. Tanaman kakao akan menderita akibat kekurangan air jika curah hujan bulanan lebih rendah dari nilai EP tersebut. Agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman kakao menghendaki suhu yang optimal. Meskipun tanaman kakao berasal dari daerah tropis, tanaman ini tidak tahan suhu yang tinggi. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan kakao mulia adalah 18,8 – 27,9 oC, sementara untuk kakao lindak 22,4 – 30,4oC. Suhu yang tinggi mengakibatkan hilangnya dominasi pucuk, klorosis, nekrosis, gugur daun, dan tanaman menjadi kerdil ( Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004 ).
Hasil pengamatan di Pusat Penelitian Kakao Indonesia yang membandingkan pisang mas, cavendis, dan kayu menunjukkan pertumbuhan kakao muda dipengaruhi oleh kultivar pisang yang ditanam. Dari tolok ukur diameter batang kakao tampak bahwa kakao yang ditanam di bawah pisang mas pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan yang ditanam di bawah kultivar pisang kayu dan cavendish. Sebagai penyebabnya adalah intensitas cahaya yang diterima kakao lebih tinggi sebagai akibat dari sosok (habitus) pisang mas yang lebih kecil daripada pisang kayu dan cavendish. Dari aspek populasi, pisang tidak menampakkan pengaruh yang jelas terhadap pertumbuhan kakao muda. Namun, dari aspek pendapatan, semakin tinggi populasi semakin besar pendapatannya. Dengan pertimbangan teknis dan ekonomis, jarak tanam pisang 3 x 6 m adalah paling optimum untuk kakao yang jarak tanamnya 3 x 3 m. Tanaman pisang akan berbunga setelah berumur delapan bulan, selanjutnya 3 – 4 bulan kemudian buah pisang siap dipanen ( Prawoto dan Moh.saleh, 1998 ).
Ketika bibit kakao dipindah ke lapangan, pemilik kebun telah dapat memperoleh pendapatan dari buah pisang. Panen buah pisang dapat dilakukan setiap 6 – bulan sekali, bergantung pada pengaturan umur anakan pisang. Keuntungan lain yang penting adalah batang pisang merupakan mulsa yang efektif dalam mengonservasi kelembapan tanah. Kadar air dalam batang palsu pisang sangat tinggi, yaitu 95,63 – 96,44%, dalam pelepah 85,82 – 88,87%, dan dalam helai daun 73,80 – 82,23% bergantung pada kultivarnya. Selain melembapkan, limbah tanaman pisang juga mengandung unsur hara. Unsur hara makro terbanyak yang dikandung limbah pisang adalah K, diusulkan Ca, N, SO4, dan paling sedikit P. Pemakaian limbah tanaman pisang sebagai mulsa kakao merupakan upaya efisiensi dalam siklus unsur hara dan bahan organik. Sampai saat ini, pemakaian mulsa batang pisang tidak menimbulkan efek negatif pada tanaman kakao. Intensitas matahari yang sampai ke tanaman kakao akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksinya. Hal ini disebabkan intensitas sinar atau radiasi matahari merupakan salah satu factor utama yang mengatur fotosintesis atau asimilasi CO2. Suhu optimum untuk berlangsungnya fotosintesis kakao lindak 22,4 – 30,4◦C dan kakao mulia 18,8 – 27,9◦C. Suhu yang tinggi bisa merusak klorofil, sehingga daun akan nekrosis dan rontok. Suhu tinggi juga memacu fotorespirasi mencapai 20 – 50 % dari hasil fotosintesis bersih. Imbang antara laju fotosintesis dangan laju fotorespirasi menunjukkan tinggkat efisiensi, sehingga tindakan untuk menekan laju fotorespirasi menunjukkan tingkat efisiensi, sehingga tindakan untuk menekan laju fotorespirasi berarti sama dengan usaha meningkatkan produktifitas ( Abdoellah dkk, 1994 ).

















BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN

Dari tanaman-tanaman yang telah disebutkan diatas, naungan dengan menggunakan pisang, terutama jenis pisang kayu dan Cavendish lebih memperlihatkan aktivitas fisiologi tanaman kakao muda yang lebih baik khususnya pada fotosintesis, karena intensitas cahaya yang diperoleh kakao cukup sehingga kakao dapay berfotosintesis dengan baik dan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao muda di pertanaman. Hal ini sama apabila kita menggunakan naungan buatan dari bahan plastik putih, namun menggunakan tanaman alami lebih memberikan nilai ekonimis terutama naungan dari tanaman pisang, karena selain kita mendapatkan hasil dari tanaman utama, kita juga bisa mendapatkan hasil dari tanaman naungan tersebut.



B. SARAN

Pengembangan tanaman kakao hendaknya tetap memperhatikan kesesuaian lahannya. Sebagai tananam yang dalam budidayanya memerlukan naungan, sebelum penanaman kakao perlu persiapan lahan dan naungan yang prima. Tanpa persiapan naungan yang baik, pengembangan tanaman kakao akan sulit diharapkan keberhasilannya. Untuk tanaman penaung kakao, dapat digunakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomis seperti pisang, sebagai penaung sementara, dan kelapa, tanaman kayu-kayuan, kapok randu, sebagai penaung tetap. Penggunaan penaung tersebut perlu disusun dalam tatatanam yang tepat, sehingga dapat memberikan produksi yang optimal.



















DAFTAR PUSTAKA



Abdoellah, S. A. Adi Prawoto, dan Priyono, “ Serapan Air dan Hara Beberapa Kultivar Asal Kultur Jaringan Dibandingkan dengan Penaung Kopi dan Kakao Lainnya : Kajian Penggunaan pisang ( Musa sp. ) sebagai Penaung Kopi dan Kakao “ , Pelita Perkebunan, 1994
Anonim, Pedoman Teknis Budi Daya Tanaman Kakao, Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 1998
Badrun, M., Program Pengembangan Kakao Indonesia, Prosiding Konfrensi Nasional Kakao Indonesia III, Medan, 1991
Bahtiar S. Abbas, Dja’far, dan Daswir, “ Analisis Sensitivitas Usaha Budi Daya Kakao terhadap keuntungan Antara Pemakaian Naungan Kelapa dan Lamtoro” , Bulletin Perkebunan, 1989
Darjanto. M., “ Beberapa Catatan Tentang Pembungaan dan Pembentukan Buah Coklat “ , Menara Perkebunan 45 ( 2 ), 1977
Junianto, Y.D.& Sri-Sukamto, Pengaruh Suhu Terhadap Perkecambahan dan Infeksi Jamur pada Buah Kakao Muda, Kongres Nasional IX & Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Surabaya 24-26 Nopember 1987
Mamangkey, Th.F.J., Budi Daya Kakao, Manajement, Pangkasan Tanaman Kakao, dan Pembenahan Khusus Dalam Rangka Mempertinggi Produksi, Jember : PT. Perkebunan XXVI, 1983
Parwoto,A. Adi, “ Kajian Penggunaan Tanaman Pisang SebagaiPenaung Sementara Tanaman Kakao “ , Pelita Perkebunan, 1998
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004, “ Panduan Lengkap Budi Daya Tanaman Kakao” , PT. Agro Media Pustaka : Depok
Soenaryo, “ Naungan untuk Tanaman Coklat, Balai Penelitian Perkebunan Bogor Sub Balai Penelitian Budidaya Jember, 1978
Soenaryo, dan Sangap Sitomurang, Budidaya dan Pengolahan Coklat, Balai Penelitian Perkebunan Jember, 1978
Wardani, S ., Martadinata, dan M.F. Azis, “ Beberapa Pertimbangan Ekonomis dalam Pengelolaan Perkebunan Kakao Mulia “ , Prosiding Komunikasi Teknis Kakao, 1988
Winarsih, S., “ Tanggapan Bibit Kakao Asal Benih pada Berbagai Tingkat Naungan Buatan “ ,
Pelita Perkebunan 3 ( 2 ), 1977